Cuaca sangat cerah pagi itu. Rahmawati (41) terlihat sibuk mengurusi pekerjaan rumah. Ia memang selalu mengawali harinya dengan bebenah, sebelum mulai bertugas sebagai guru Ilmu Pengetahuan Alam di SMPN 2 Kuripan, Lombok Barat.
Meski rutinitas paginya terkesan biasa, ada yang menarik dari keseharian ibu dua orang anak itu. Tak hanya berprofesi sebagai pendidik, Rahmawati juga mengemban tugas yang tak kalah penting. Ia menjabat sebagai sekretaris tim pelaksana Sekolah Ramah Anak (SRA) di SMPN 2 Kuripan.
Sebagai sekretaris tim pelaksana SRA, Rahmawati bertanggung jawab menyiapkan serial diskusi SRA di sekolah, melatih murid yang menjadi pendidik sebaya, menyiapkan materi, hingga menyiapkan kebutuhan administrasi lainnya. Semua ini harus dilakukannya sembari tetap menjalankan tugas untuk mendidik murid di sekolah.
“Tugas ini memang berat, tetapi harus dilakoni untuk menghentikan kasus kekerasan terhadap anak di sekolah,” ujar Rahmawati.
Rahmwati mulai berkenalan dengan konsep SRA dan masalah kekerasan terhadap anak pada 2022. Ketika itu, ia mengikuti pelatihan master trainer dari Gema Cita (Generasi Bangsa Bebas Perkawinan Usia Anak). Program Gema Cita dilaksanakan oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pemenuhan hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan. Plan Indonesia mengimplementasikan Gema Cita di Lombok Barat, khususnya di Kuripan, karena banyaknya kasus perkawinan anak di daerah tersebut. Angka kekerasan terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya, seperti tercantum dalam data yang disampaikan oleh DP3AP2KB Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada tahun 2019, tercatat sebanyak 370 kasus perkawinan anak meningkat pesat diperparah oleh situasi pandemi hingga pada tahun 2021 terdapat 1.132 kasus. Di Lombok Barat kasus kekerasaan terhadap anak dan perempuan di tahun 2022 mencapai 46 kasus. Dari 46 kasus tersebut terdiri dari 14 kasus kekerasan fisik, 3 psikis, 15 kasus kekerasan seksual, 5 kasus penelantaran, 9 kasus lainnya.
Selama pelatihan Gema Cita, Rahmawati mendapatkan berbagai pengetahuan baru. Ia mulai mengenali peraturan pemerintah tentang kekerasan, kategori kekerasaan terhadap anak, kesehatan reproduksi, hingga keseteraan gender. Selain itu, ia juga mendapat edukasi tentang hak-hak anak yang selama ini diabaikan di sekolah. Misal, karena terjadinya kasus perundungan atau bullying.
Menurutnya, rangkaian pengetahuan baru ini membuatnya terasadar akan realitas baru. “Setelah ikut pelatihan, saya baru sadar di sekolah tempat saya ngajar juga ada anak yang menikah usia anak,” kata Rahmawati.
Berawal dari situ, Rahmawati mulai berdedikasi untuk memerangi kekerasan terhadap anak. Ia pun menyebarkan ilmu barunya kepada sesama guru dan peserta didik. Bagi Rahmawati, proses ini penting, karena peserta didik tidak pernah mendapatkan edukasi mengenai kekerasan sebelumnya. Mereka juga kurang mendapatkan pendidikan mengenai kesehatan reproduksi di sekolah.
“Kalau tidak dalam pelajaran IPA, mereka tidak menerima ilmu itu. Saya baru sadar, ternyata materi ini penting disampaikan di sekolah,” terangnya.
Materi pelatihan dari program Gema Cita sama dengan program Merdeka Belajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Kedua program ini sangat relevan untuk mencegah perundungan atau bullying pada anak di sekolah, mengedepankan disiplin positif pada anak, dan lain sebagainya.
Berangkat dari kecocokan konsep itu, Rahmawati menerapkan disiplin positif dan mengombinasikannya dengan ilmu SRA. Ia juga membuat konsep pengajaran sedemikian rupa, agar murid yang menjadi pendidik sebaya mendapat kesempatan mengedukasi teman-teman mereka. Sehingga, para murid yang telah dilatih dan diberikan pemahaman tentang kekerasaan terhadap anak, kesehatan reproduksi, dan lain sebagainya dapat menularkan pemahaman baru kepada rekan sebayanya.
Perjuangan Hapus Kekerasan di Sekolah
Menciptakan sekolah ramah anak tanpa kekerasaan tidak semudah membalik telapak tangan. Setelah hampir setahun memerangi kekerasan terhadap anak, Rahmawati menyadari bahwa perubahan tidak bisa dilihat serta merta. Selain karena faktor internal, faktor eksternal di lingkungan keluarga maupun masyarakat juga menjadi tantangan berat. Faktor ekonomi, pendidikan, hinga geografis Kuripan yang terletak di wilayah pinggir ditengarai membuat banyak anak kurang mendapatkan perhatian, terutama dari sisi pola asuh.
“Banyak anak-anak yang tidak lengkap orang tuanya, sehingga sulit dan menjadi tantangan berat (untuk mendapat perhatian memadai). Kadang, mereka tinggal bersama nenek atau bibinya, sementara orang tua merantau atau bekerja keluar negeri,” jelasnya.
Meski begitu, upaya Rahmawati bersama tim pelaksana SRA setidaknya dinilai berhasil membuat perubahan mendasar. Terutama, mengenai kepedulian guru dan murid terhadap isu kekerasan. Menurutnya, yang sangat membanggakan adalah ketika melihat para guru dan peserta didik jadi sangat peduli akan kasus yang terjadi di lingkungannya. Mereka kini bisa mengambil inisiatif mengingatkan dan masyarakat agar tidak melakukan kekerasaan terhadap anak. Mereka juga lebih peka terhadap aspek kesetaraan gender.
Sementara itu, Kepala SMPN 2 Kuripan H. Karnaen, S.Pd., mengatakan bahwa program sekolah ramah anak tidak cukup hanya dengan inisiatif dari satu pihak saja. Ia menilai seluruh warga sekolah, termasuk staf tata usaha, komite, wali murid, dan pemerintah terkait perlu menerapkan konsep ini dan mewujudkan SRA.
Meski begitu, hadirnya program Gema Cita dianggapnya dapat mempercepat perwujudan sekolah ramah anak di Kuripan. “Apalagi SMPN 2 Kuripan termasuk yang masuk dalam SK Bupati untuk jadi sekolah ramah anak tahun 2022,” tambahnya.
Karnaen mengatakan, program Gema Cita telah mendampingi SMPN 2 Kuripan selama dua tahun. Setelah program Gema Cita selesai di sekolah ini, bukan berarti komitmen sekolah untuk menjadi lingkungan yang ramah anak akan berakhir. Pihaknya berkomitmen untuk melanjutkan program tersebut dalam sketsa berbeda. Nantinya, sekolah akan menganggarkan bantuan operasional sekolah untuk mendukung SRA supaya berkelanjutan.
Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Kabupaten Lombok Barat Erni Suryana mengatakan, pemerintah mendorong seluruh sekolah di Kabupaten Lombok Barat menjadi sekolah ramah anak. Artinya, pembelajaran di sekolah tidak boleh ada perundungan, menciptakan ruang aman bagi murid serta mengedepankan hukum positif.
SMP Negeri 2 Kuripan adalah salah satu sekolah yang telah dicanangkan sebagai sekolah ramah anak. Hal ini diharapkan memberikan contoh bagi sekolah lainnya. “Kita mendorong agar sekolah di Lombok Barat menjadi SRA,” harapnya.
Di Lombok Barat kasus kekerasaan terhadap anak dan perempuan di tahun 2022 mencapai 46 kasus. Dari 46 kasus tersebut terdiri dari 14 kasus kekerasan fisik, 3 psikis, 15 kasus kekerasan seksual, 5 kasus penelantaran, dan 9 kasus lainnya. Erni mengharapkan, terbentuk SRA dapat mencegah kasus perundungan, kekerasan seksual, dan lain sebagainya.
Pengamat Pendidikan Universitas Mataram Ilham Handika, M.Pd.,mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia selalu mendorong tenaga pendidikan menghapus dosa besar dalam dunia pendidikan. Tiga dosa besar itu yakni, bullying atau perundungan, kekerasaan seksual, dan intoleran. Terbentuk sekolah ramah anak di kabupaten/kota sesuai dengan harapan pemerintah pusat untuk menghapus kasus kekerasaan, perundungan, dan intoleran. “Kasus ini ibarat fenomena gunung es. Dunia pendidikan harus mencegahan permasalahan tersebut,” kata Ilham.
Dosen Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan menambahkan, konsep merdeka belajar dimasifkan oleh Kemendikbud. Keunggulan program ini adalah murid tidak hanya diberikan materi pembelajaran, tetapi ada penguatan karakter.
Ilham menambahkan, proyek penguatan profil pelajar Pancasila menjadi penting dilaksanakan dengan alokasi waktu khusus guna memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengalami pengetahuan sebagai proses penguatan karakter sekaligus kesempatan untu belajar dari lingkungan sekitar. “P5 ini menggunakan pendekatan pembelajaran berbasis proyek yang berbeda dengan pembelajaran berbasis proyek dalam program intrakurikuler di dalam kelas,” terangnya.
Perihal guru yang terlibat dalam pembentukan sekolah ramah anak sangat diapresiasi. Artinya, sebagai guru penggerak memiliki tanggungjawab untuk menjaga dunia pendidikan agar tidak terjadi kasus kekerasaan, perundungan, dan intoleran diimplementasi di sekolah. (*)