Mencegah Perkawinan Anak dari Budaya yang Mengakar

Anak dan kaum muda memiliki peran penting dalam membantu pemerintah meluruskan budaya merariq kodeq (menikah usia anak) yang masih banyak salah paham. Merariq kodeq selalu dikaitkan dengan budaya masyarakat Suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sejatinya, masyarakat Sasak menikahkan anak perempuan setelah berhasil menenun 25 kain atau jika dikonversikan anak perempuan berusia 22 tahun.

Kesalahpahaman terhadap budaya merariq kodeq menjadi suatu faktor di mana perkawinan anak meningkat. Menurut Koalisi Perempuan Indonesia (2019) dalam studi Girls Not Brides, 1 dari 8 perempuan di Indonesia sudah kawin sebelum berusia 18 tahun. Kondisi ini mengancam hak-hak anak, dengan munculnya risiko putus sekolah, kehamilan yang berisiko, hingga meninggalnya ibu dan bayi saat persalinan.  Selain itu, perkawinan anak juga memiliki risiko besar menyebabkan masalah gagal tumbuh kembang anak atau stunting terhadap anak yang dilahirkan tanpa kesiapan fisik dan mental, terlebih bagi orang tua yang masih termasuk dalam usia anak.

Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana Kabupaten Lombok Barat Erni Suryana mengatakan, seringkali budaya dijadikan alasan oleh masyarakat untuk pembelaan diri menikahkan anak. Konsep merariq (menikah) pada masyarakat Suku Sasak sebenarnya memiliki rangkaian adat, mulai dari menjemput calon pengantin perempuan di rumahnya pada malam hari, prosesi selabar (memberi tahu orang tua pihak perempuan setelah tiga hari dibawa kabur oleh calon pengantin laki-laki), hingga pisuke (uang atau barang yang diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan di luar mahar). “Jadi, merariq itu bukan membawa lari anak perempuan saat di jalan atau di sekolah. Untuk membawa lari anak perempuan harus pada malam hari dan menjemput di rumahnya,” jelas Erni.

Erni mengatakan, Kabupaten Lombok Barat telah memiliki regulasi berupa peraturan daerah dan peraturan bupati tentang pencegahan perkawinan anak. Beberapa desa di Lombok Barat juga memiliki peraturan desa tentang pencegahan perkawinan anak. Sistem pencegahan perkawinan anak telah diatur dalam perda dan perbup. Karena itu, pemda mendorong masing-masing desa memiliki peraturan desa tentang pencegahan perkawinan anak serta dibentuknya lembaga perlindungan anak, sehingga ketika ada kasus desa sudah memiliki sistem yang bagus untuk menangani.

Kesalapahaman masyarakat menerjemahkan konsep merariq di masyarakat Sasak, di Lombok, Nusa Tenggara Barat menjadi pekerjaan rumah tokoh adat dan tokoh masyarakat. Mereka perlu meluruskan pemahaman tentang merariq, agar tidak disalahartikan oleh masyarakat.

Tak hanya oleh orang dewasa, pemahaman dapat disampaikan oleh anak dan kaum muda dalam bentuk edukasi yang menarik. Seperti halnya yang dilakukan oleh Romi (17) yang merupakan pendidik sebaya program Generasi Emas Bangsa Bebas Perkawinan Anak (Gema Cita) oleh Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia). Bisa dibilang, Romi memiliki minat yang unik. Saat kebanyakan remaja sebayanya asyik bermain game di gawai atau bersenda gurau, Romi lebih memilih memikirkan masa depan anak-anak di kampungnya. Perkawinan anak dan kekerasaan seksual menjadi konsentrasi yang diperjuangkan.

“Saya miris (kalau ada) teman sebaya di kampung yang terpaksa menikah di usia anak, termasuk di dalamnya dengan alasan merariq kodeq,” sebut Romi baru-baru ini.

Menurut Romi, di satu sisi ia paham mengenai tantangan yang dialami berbagai pihak tentang pencegahan perkawinan anak, apalagi para kepala dusun yang dibenturkan oleh masyarakatKasus perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat menurut Romi, adalah tantangan terberat. Budaya merariq (dalam budaya Suku Sasak, salah satu bentuk pernikahan dilaksanakan dengan cara melarikan calon istri oleh calon suami) masih menjadi tradisi yang melekat di masyarakat Lombok. Ia sangat sulit memberikan penjelasan kepada masyarakat terutama orang tua bahwa menikahkan anak di bawah umur sangat berbahaya. Perkawinan selalu dibenturkan dengan budaya, sehingga butuh proses panjang meluruskan persepsi masyarakat tentang konsep merariq. Hal ini berpengaruh pada angka perkawinan anak karena hal ini juga dijalankan di kalangan usia anak dengan istilah merariq kodeq.

Ia mencontohkan, anak perempuan dan laki-laki pulang di atas jam 22.00 WITA, maka harus dinikahkan. Paradigma ini harus dihilangkan dari masyarakat. Menurutnya, tidak selamanya anak perempuan dan laki-laki keluar rumah melakukan hal-hal yang negatif. Banyak faktor mereka bisa pulang larut malam, di antaranya, mengerjakan tugas atau karena cuaca tidak bersahabat kala itu.

Perjuangan Romi mencegah perkawinan anak di desa tidak pernah berhenti hanya karena tantangan yang dirasakan. Setelah Romi menjadi pendidik sebaya, ia pernah menemukan kasus perkawinan anak di salah satu dusun di Kabupaten Lombok Barat. Melalui pendekatan kekeluargaan, Romi yang merupakan anggota Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) bersama pendamping dari tim Gema Cita mengingatkan orang tua dan calon pengantin untuk tidak melanjutkan perkawinan tersebut. Faktor budaya sempat menjadi alasan orang tua si calon pengantin untuk menikahkan anaknya, meskipun masih usia anak. Namun, dengan dukungan banyak pihak, Romi bersama tim PATBM berhasil menyelesaikan kasus perkawinan anak ini.

Tidak hanya perkawinan anak, Romi melaporkan kasus kekerasaan anak yang menimpa salah satu teman sebayanya ke PATBM di desanya. Romi memberikan pendampingan dan meyakinkan temannya untuk berani melapor dan mencari solusi bersama PATBM dengan memberikan ruang aman dan nyaman bagi temannya. Disampaikan Romi, PATBM berperan dalam membangun kesadaran, kepedulian, dan kemampuan masyarakat dalam mencegah, mendeteksi dini, menyediakan pertolongan pertama dan pelayanan rujukan ke sumber pelayanan ketika terjadi kekerasaan terhadap dan oleh anak.

Upaya – upaya yang dilakukan Romi tentu memiliki konsekuensi terhadap keselamatan dirinya. Ia bersyukur tidak pernah mendapatkan intimidasi maupun ancaman secara fisik dari masyarakat maupun aparat. Romi bertekad untuk terus mengedukasi sekitarnya terkait ilmu yang dia peroleh melalui pengalamannya sebagai pendidik sebaya program Gema Cita. Romi paham betul bahwa dampak buruk perkawinan anak tidak hanya pada anak itu sendiri, melainkan akan berdampak kepada orang lain. Ia berpesan kepada generasi muda agar berjuang mencegah perkawinan anak, tetap semangat, menghindari perilaku berisiko serta menjadi generasi masa depan yang lebih baik untuk menciptakan generasi emas.

Mengedepankan Anak dan Kaum Muda

Pencegahan perkawinan anak menjadi salah satu isu prioritas bagi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia). Hal itu karena isu ini memiliki dampak sangat besar bagi kehidupan dan masa depan anak dan kaum muda, khususnya perempuan. Manajer Program Generasi Bangsa Bebas Perkawinan Usia Anak (Gema Cita), Marzalena Zaini, menjelaskan partisipasi aktif anak dan kaum muda menjadi agen perubahan dapat memberikan dampak yang berkelanjutan ke depannya.

“Partisipasi bermakna remaja dan kaum muda sangat penting untuk dibangun melalui kegiatan-kegiatan positif seperti menjadi aktor dalam edukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), aktor aktif dalam pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap anak, remaja dan kaum muda termasuk perkawinan anak dan kehamilan remaja, di sekolah maupun di desa,” tandas Lena pada rilis yang dipublikasikan melalui website Yayasan Plan Internasional (Plan) Indonesia.

Plan Indonesia melalui Gema Cita berkolaborasi dengan pemerintah dan organisasi masyarakat di Jawa Barat dan NTB, terutama di Kabupaten Sukabumi dan Lombok Barat, menjalankan upaya keberlanjutan memperkuat advokasi pencegahan perkawinan anak di provinsi Jawa Barat dan NTB. Gema Cita dirancang untuk melanjutkan praktik baik dari program Yes I Do di Kabupaten Sukabumi dan Lombok Barat (2017-2020), terutama dalam perlindungan anak berbasis masyarakat. Diharapkan, upaya ini dapat mendorong pencegahan, pengurangan dan penghapusan perkawinan anak dan kehamilan remaja secara lebih terstruktur, holistik, dan integratif.

Berdasarkan survei baseline Gema Cita tahun 2022, Plan Indonesia mengidentifikasi sebagian besar remaja (>60%) mengatakan bahwa mereka tidak percaya diri bertanya kepada orang tua tentang menstruasi/mimpi basah. Orang tua perlu memahami perkembangan kesehatan reproduksi remaja, dan membiasakan diskusi antar generasi secara terbuka sehingga anak bisa mendapatkan informasi yang baik dan benar.

Lena berharap kampanye ini dapat menjadi semangat bersama agar suara, aspirasi dan pendapat anak dan kaum muda dapat didengar dan dipertimbangkan menjadi keputusan, bukan malah menjadi korban kekerasan termasuk perkawinan anak dan kehamilan remaja. Sehingga akan terbangun komunikasi yang positif antara orang tua dan remaja dalam mendiskusikan kesehatan reproduksi. Selain itu, diharapkan adanya sinergi yang lebih terintegrasi antar instansi untuk mewujudkan alokasi penganggaran dalam skala desa dan kabupaten untuk kampanye ini ke depannya. “Kami tidak bisa kerja sendiri tentunya, dalam memberikan dampak yang lebih luas dan berkelanjutan, dukungan anggaran menjadi langkah pertama untuk melindungi masa depan anak dan kaum muda,” pungkas Lena. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *