Selong (inimataram.com) –
Pengasuh pondok pesantren maupun pemuka agama semestinya sebagai penjaga pintu kemaslahatan. Di pundak mereka ada amanah besar untuk menjaga kepercayaan umat. Ironinya, pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur diduga melakukan pelecehan seksual terhadap puluhan santriwatinya. Kasus ini disinyalir berlangsung sejak belasan tahun. Modusnya, sang tuan guru dijanjikan keberkahan untuk mendapatkan surga.
Salah satu korban KA (17) warga Kecamatan Sakra, Kabupaten Lombok Timur. Korban mengalami pelecehan seksual sejak tahun 2022 saat duduk di bangku madrasah tsanawiyah (MTs) di pondok pesantren tersebut. KA menuturkan awalnya tidak curiga dengan gerak-gerik pelaku. Ia diajak oleh pengasuh atau ustazah ponpes itu yakni LS (26) untuk membersihkan sisa makanan pelaku. Korban tidak berpikir lama dan mengikuti ustazahnya masuk ke dalam rumah pelaku.
Usai membersihkan piring dan sisa makanan, ia dibisiki oleh ustazahnya agar meminta keberkahan ilmu kepada pelaku. Dengan polos, ia mendatangi pelaku yang duduk bersila di kursi. “Saya duduk di depannya cium tangan dan kakinya. Setelah itu, pelaku memegang kepala saya dan mengatakan bahwa sudah berkah ilmu yang diajarkan,” tuturnya ditemui pada pertengahan Ramadhan lalu.
Gerak-gerik aneh justru mulai muncul saat mereka berdua di dalam ruang makan. Abah, demikian pelaku dipanggil oleh santri dan guru di ponpes tiba-tiba mencium kening, pipi, dan bibir korban. KA terkejut dan heran. Entah apa dibenak pelaku. Ia tiba-tiba membuka celana dan memaksa korban mengisap kemaluannya. “Saya tidak bisa ngomong apa-apa dan hanya bisa menangis,” tuturnya.
Perlakuan sama dialami korban lainnya yakni RA (23) asal Kecamatan Sambelia. Pelaku mengiming-imingi keberkahan dan cahaya yang mengklaim dirinya sebagai ahli mursid. Perantaranya melalui pengasuh atau ustazah di ponpes tersebut. Saat itu, RA berusia 16 tahun atau baru kelas VIII sekolah menengah kejuruan. Pelaku dua kali gagal mengajak korban berhubungan selayaknya suami-istri. Saat pertama kali, anak pelaku masuk ke dalam rumah sehingga membuatnya terkejut. Sehari pasca kejadian itu, ia kembali dipanggil masuk ke ruangan. Pelaku memberikan kode dengan menepuk bahu korban, tetapi RA menolak ajakan pelaku.
Pelaku tidak kehabisan cara. Pengasuh pondok yang diduga juga pernah menjadi korban diminta memanggil dan mengantar korban ke rumahnya. RA terus dirayu dengan janji keberkahan. Rencana pelaku gagal kedua kali karena anaknya kembali masuk ke ruangan. “Kalau dia benar Waliyuallah kenapa takut sama anaknya yang datang ke kamar. Dia sembunyi di belakang pintu tanpa menggunakan pakaian. Saat itu, saya yang masih pakai seragam sekolah langsung lari keluar,” terangnya.
Tindakan bejat pelaku akhirnya berhasil. RA tidak kuasa menahan bujuk rayu pelaku. Korban dipaksa mengisap kemaluannya sebelum berhubungan suami istri. RA hanya bisa menangis usai mengalami pelecehan seksual oleh pimpinan ponpes tersebut. “Saya terus dicerahami dijanjikan surga. Dia mengaku sebagai anak murid tuan guru dan ahli mursid. Nanti di surga pasti akan ketemu dia,” terangnya.
Dilakukan Berulang-ulang
Pelaku diduga melakukan kekerasaan seksual terhadap santriwatinya secara berulang-ulang. KA menuturkan, tidak hanya sekali diajak berhubungan badan melainkan berkali-kali. Terakhir, korban diajak berhubungan selayaknya suami istri pada Februari 2023. “Bukan sekali itu saja, tetapi sering kali. Pokoknya hampir setiap bulan itu dipanggil untuk begituan. Kalau dia mau sama saya pasti disuruh panggil sama ustazah di sana,” tuturnya.
KA sering menolak jika ustazah LS memanggil untuk ketemu pimpinan ponpes tersebut, karena ia tahu pasti akan melayani nafsu bejat pelaku. Pelaku tidak hanya mengajak korban berhubungan badan di kamar pribadinya, melainkan kamar hotel yang menjadi tempat praktik santri-santriwati jurusan pariwisata. “Biasanya diajak di ruang praktik SMK pariwisata itu karena disana fasilitasnya lengkap,” ujarnya.
Korban merasa aneh setiap kali bertemu pimpinan ponpes tersebut. Saat tangannya dipegang pasti diam dan mengikuti keinginan pelaku, padahal dalam hatinya menolak. Ia tidak mengetahui apakah dihipnotis atau tidak, karena usai mendapatkan pelecehan seksual pasti menangis dan mau melawan. “Pokoknya kalau sudah dipegang tangan atau badan saya pasti diam dan nurut saja,” tuturnya.
Pengakuan berbeda disampaikan RA. Ia justru enggan melayani nafsu bejat sang tuan guru. Ia diselamatkan karena harus menjalani praktik kerja lapangan di Anjani. Sempat dibujuk oleh pelaku agar praktik di dalam sekolah dan dijanjikan gaji tetapi ditolak. Korban harus membayar uang praktik Rp500 ribu sebagai kompensasi agar bisa praktik di luar sekolah. “Saya disuruh PSG di sekolah tetapi saya tolak,” ucapnya.
RA masih mengingat bahwa pertama kali mendapatkan pelecehan seksual pada bulan Januari 2016. Tepatnya bulan Februari atau dua pekan menjalani praktik kerja lapangan, ia diajak menikah oleh seorang lelaki. RA tidak berpikir panjang dan langsung menerima tawaran lelaki tersebut. Meskipun harus bercerai dan mendapatkan seorang buah hati dari hasil pernikahannya itu. RA sangat bersyukur bisa keluar dari pondok pesantren daripada harus melayani nafsu tuan guru. “Pokoknya bersyukur sekali saya bisa keluar dari pondok itu. Saya kasian sama teman-teman saya yang terus jadi korban,” tuturnya.
Nikahkan Diri Sendiri
Tindakan aneh dilakukan oleh oknum tuan guru di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur. Pimpinan pondok pesantren ini menikahkan dirinya sebelum melakukan pelecehan seksual terhadap santriwatinya. Korban diiming-imingi mendapatkan keberkahan karena pelaku mendeklarasikan diri sebagai waliyuallah.
Korban RA dan KA mengaku sebelum diajak berhubungan badan mereka terlebih dahulu dinikahi oleh pelaku. Anehnya, prosesi pernikahan tidak seperti dilakukan masyarakat pada umumnya yakni ada sanksi, wali, dan petugas dari kantor urusan agama. Pelaku menikahkan dirinya sendiri dengan menjabat tangan korban dan mengucapkan ikrar ijab kabul. “Sebelum diajak berhubungan badan Abah menjabat tangan saya kemudian dia bilang saya nikahkan kamu,” terang RA dan KA.
KA dan RA diberikan maskawin berbeda-beda. KA diberikan maskawin uang tunai Rp50 ribu dan RA memperoleh maskawin Rp100 ribu. Uang maskawin itu tidak diberikan secara langsung melainkan dititip melalui ustazah mereka.
Kedua korban tidak kuasa menahan hasrat pelaku. Si Abah ini selalu mengklaim dirinya sebagai ahli mursid atau waliyuallah. Mereka selalu diimingi-imingi keberkahan dan bertemu di surga jika telah berhubungan suami istri. “Karena saya masih polos dan selalu dijanjikan akan bertemu suami pertama di surga. Dia selalu mengaku sebagai waliyuallah,” jelas KA.
KA tidak mengetahui sudah menjadi korban ke berapa. Dua rekan sekamarnya juga menuturkan hal sama. Mereka pernah mengalami kekerasaan seksual. Modusnya sama dijanjikan keberkahan dan surga. Praktiknya menikahkan semua korban tanpa wali dan saksi serta memberikan uang sebagai maskawin. “Ternyata bukan cuma saya saja. Dua teman kamar saya juga bercerita ternyata sudah mengalami disetubuhi,” ucapnya.
Pelaku ini cukup lihai melancarkan perbuatannya. Saat berhubungan badan dengan korbannya, pelaku tidak pernah memasukan spermanya ke dalam kelamin perempuan. KA mengaku, saat klimaks pelaku langsung lari ke kamar mandi atau mengeluarkan di luar. Modus itu dilakukan untuk menghindari agar korbannya tidak hamil dan menuntut tanggungjawaban. “Pokoknya setiap mau keluar gitu selalu dimuncratkan di luar. Dia bisanya lari ke kamar mandi,” ujarnya.
Karena tidak tahan melayani nafsu oknum tuan guru ponpes tersebut. Pada tanggal 18 Maret 2023, ia kabur dan enggan kembali ke ponpes tersebut. Beberapa kali gurunya datang membujuk memintanya kembali sekolah tetap ditoloka. Akhirnya, KA bersama dua rekannya memberanikan diri melapor ke Polsek Sikur pada tanggal 3 April 2023 atas dugaan pelecehan seksual yang dialami.
Ada Hubungan Keluarga
SH (45) bapak KA tidak menyangka anaknya menjadi korban pelecehan seksual oleh pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur. Ia menyekolahkan anaknya di ponpes dengan harapan lebih mendalami ilmu agama. Nyatanya, anak perempuan satu-satunya dinodai padahal mereka ada hubungan keluarga. “Kok tega sekali dia merusak masa depan anak saya. Padahal, saya itu ada hubungan keluarga dengan pelaku,” katanya lirih.
SH sama sekali tidak curiga dengan anaknya. KA diketahui pulang ke rumahnya di Kecamatan Sakra pada Sabtu (18/3). Setelah itu, putrinya enggan kembali ke pondok. Berulangkali dibujuk agar balik ke ponpes tetapi terus menolak dengan alasan masih libur. Ayah tiga orang anak ini, justru kaget setelah menerima surat panggilan dari Unit Perempuan dan Perlindungan Anak Polres Lombok Timur untuk dimintai keterangan. Pasalnya, ia merasa tidak pernah berbuat kejahatan apapun. “Saya datang ke Polres tanggal 4 April untuk diminta keterangan. Ternyata disana saya terkejut kalau anak saya menjadi korban pelecehan seksual,” ucapnya.
SH hanya bisa menangis dan tidak bisa berbuat apa-apa. Pasalnya, KA tidak pernah terbuka atau bercerita tentang masalah yang dialami. Peristiwa ini sempat diceritakan ke keluarga besarnya di Kecamatan Jerowaru. Mereka hendak menghakimi dan membakar pondok pesantren tersebut. “Kalau saya tidak tahan keluarga di Jerowaru sudah dibakar pondok itu,” ujarnya.
SH meminta keadilan kepada penegak hukum agar kasus ini ditindaklanjuti dan mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Ia berharap pelaku dihukum seberat-beratnya karena melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur. Selain itu, ia meminta Kementerian Agama menutup aktifitas pondok pesantren tersebut, supaya tidak ada korban berikutnya.
41 Santriwati Diduga Jadi Korban
Kasus pelecehan seksual tidak hanya dialami oleh RA dan KA, ternyata masih banyak santriwati yang menjadi korban. Rata-rata korbannya berusia anak. Jurnalis inimataram.com berusaha menelusuri keberadaan korban dan bertemu saksi kunci pada kejadian tersebut.
Salah seorang sumber yang enggan disebut identitasnya secara detail menjelaskan kejahatan seksual yang dilakukan oleh pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Kasus pelecehan seksual di ponpes diduga sudah terjadi sejak tahun 2007. Pelakunya diduga pimpinan ponpes tersebut. Modusnya adalah mengiming-imingi korban akan mendapatkan keberkahan dan cahaya. Pimpinan ponpes ini mengklaim dirinya sebagai ahli mursid atau waliyuallah, sehingga setiap angkatan pasti ada korban.
“Jadi modusnya itu menjanjikan surga. Pokoknya setiap angkatan itu pasti ada korban,” kata sumber ditemui pertengahan bulan Ramadhan.
Pelecehan seksual yang dialami santriwati pernah dilaporkan, tetapi tidak ada satupun ustad atau ustazah yang percaya. Mereka sangat menghambakan tuan guru itu. Padahal dibalik jubahnya itu terdapat kejahatan seksual. Sumber sangat tahu peristiwa yang dialami oleh santriwati karena lama mengajar di ponpes tersebut. Saat peristiwa mencuat, ia salah satu yang tidak pernah percaya cerita atau laporan dari santriwati atas tuduhan pelecehan seksual tersebut. Menurutnya, seorang pimpinan ponpes yang memahami agama tidak mungkin melakukan perbuatan tercela.
Lambat laun, ia curiga dan mencoba membuktikan laporan puluhan santriwati yang menjadi korban. “Setelah saya telusuri dan tanya satu persatu santriwati ternyata benar,” ungkapnya.
Dari pengakuan santriwati dan alumni ponpes bahwa mereka pernah mengalami pelecehan seksual. Sumber mengatakan, korban tidak ada yang berani melapor ke aparat kepolisian karena takut diintimidasi. Selain itu, pelaku disinyalir berani membayar orang untuk menutup permasalahan tersebut. Alasan lainnya adalah, rata-rata korban sudah menikah dan memiliki anak. Ia tidak mau suaminya mengetahui permasalahan yang dihadapi saat menjadi santri di ponpes tersebut. “Kalau sekarang rata-rata mereka sudah punya suami jadi takut untuk melapor,” ucapnya.
Ia bersyukur TA berani melapor ke kepolisian sehingga kasus ini mendapatkan atensi dari aparat kepolisian. Sumber berpesan agar korban dan keluarga lebih berhati-hati karena banyak cara dilakukan pelaku untuk mengintimidasi.
Memiliki Pengajian Khusus
Pelaku rupanya memiliki pengajian khusus membahas tentang seksualitas. Pengajian itu disebut Quratul Uyun yang biasanya digelar pada Senin malam. Santri yang boleh ikut di pengajian itu adalah siswa kelas III MTS dan SMA, alumni ponpes dan sebagian pengasuh atau ustad dan ustazah.
Sumber menuturkan, kajian tentang seksualitas yang diajarkan pimpinan ponpes tersebut diduga menyimpang dari ajaran agama. Materi disampaikan tidak pantas di dengar oleh anak usia sekolah. Bahasa serta tata caranya dinilai tidak masuk akal. “Jadi lebih banyak dicontohkan bagaimana cara berhubungan seksual dan banyak diselewengkan apa yang sebenarnya diajarkan oleh agama,” terangnya.
Apakah santri yang mengikuti pengajian khusus itu pernah menjadi korban? Sebagian besar kata sumber, santri dan ustazah yang ikuti pengajian diduga pernah menjadi korban pelecehan seksual. Ia mengaku sering mengikuti pengajian itu tetapi merasa risih ketika membahas seksualitas.
Pengajian quratul uyun tetap digelar dengan berbagai metode pembelajaran yang diterapkan. “Kalau kita dengar isi kajiannya pokoknya meresah jijik kita. Saya tidak apakah modusnya supaya santrinya mau diajak berhubungan atau bagaimana,” terangnya.
Oknum Tuan Guru Harus Dihukum Berat
Korban kasus pelecehan seksual di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur hanya pasrah dengan kejadian yang diderita. Saat itu, mereka hanya bisa menangis dan mengurung diri di dalam asrama. Perlawanan atas perilaku bejat pimpinan ponpes tidak pernah digubris. Korban menuntut keadilan agar pelaku dihukum seberat-beratnya.
Kejadian dugaan rudapaksa tujuh tahun lalu oleh oknum tuan guru di Kecamatan Sikur masih membekas dibenak RA. Ia mengingat cara pelaku memberdayainya dengan iming-iming keberkahan. Paling membuatnya sakit hati adalah pelaku mengecek keperawan dengan memegang alat kelamin korban. “Saya terus menolak tetapi tidak dihiraukan,” kata RA.
Pasca kejadian pelecehan seksual itu, RA sakit dan memilih mengurung diri dalam kamar. Ia baru percaya cerita temannya yang menjadi korban terlebih dahulu. RA akhirnya memilih berhenti sekolah dan menikah.
Kejadian tujuh tahun itu diharapkan membuka tabir kejahatan oknum pimpinan ponpes tersebut. Ia meminta keadilan agar pelaku dihukum seberat-beratnya. “Dia sudah merusak masa depan anak. Saya berharap pelaku dihukum berat,” harapnya.
Kasat Reskim Polres Lombok Timur AKP Hilmi Manosoh Prayogi ditemui di ruangannya, Sabtu (20/5) menjelaskan, pihaknya telah mengamankan terduga pelaku berinisial MH (52) warga Desa Sikur, Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur atas dugaan pelecehan seksual yang dilakukan terhadap santriwati.
Kronologisnya,terduga pelaku merupakan pimpinan pondok pesantren di Kecamatan Sikur mengiming-imingi korban untuk mendapatkan keberkahan. Pelaku membawa korban ke kamar anaknya kemudian mengklaim bahwa ada pesan dari waliyuallah untuk menikahi korban. Korban dinikahi dengan maskawin Rp50 ribu. “Katanya ada pesan dari waliyuallah bahwa harus menyetubuhi korban,” terang Kasat Reskrim.
Penetapan MH sebagai tersangka atas dugaan pelecehan seksual ini sangat lamban. Hilmi menegaskan, kepolisian tidak bisa sembarangan menetapkan seseorang sebagai tersangka sebelum ada alat bukti yang jelas. Selama penanganan perkara tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah. “Siapapun itu baik dia orang besar atau kecil sama dimata hukum. Jadi, kita harus hati-hati juga menetapkan orang sebagai tersangka,” jelasnya.
Penyidik Unit PPA Polres Lombok Timur terus mendalami kasus pelecehan seksual tersebut, termasuk mendalami peran penghubung yang mengantarkan korban ke pelaku.
Mantan Kasat Reskrim Polres Sumbawa Barat menambahkan, pemeriksaan secara intensif terus dilakukan baik meminta keterangan terhadap korban, saksi,dan pelaku. Setelah dinyatakan lengkap berkas perkara akan dilimpahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Kabupaten Lombok Timur.
Pelaku akan dijerat dengan Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-undang Tindak Perlindungan dan Kekerasaan Seksual dengan ancaman hukum 15 tahun penjara.
Pelaku Harus Dihukum Berat
Direktur LBH APIK NTB Nuryanti Dewi menjelaskan, kasus pelecehan seksual terhadap santriwati di ponpes di Kecamatan Sikur, Kabupaten Lombok Timur berawal dari konsolidasi bersama pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Mataram. AJI memberikan data awal korban pelecehan seksual di Lombok Timur kemudian dibentuk koalisi anti kekerasaan NTB yang melibatkan Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) Mataram, AJI Mataram, dan LBH APIK NTB. Data awal itu diolah kemudian ditindaklanjuti menemui korban di rumahnya di Kecamatan Sakra.
Yanti menegaskan, pihaknya bersama LSBH Mataram akan mengawal kasus ini untuk memberikan keadilan kepada korban, termasuk mengawal pemulihan korban dan keluarganya. Pihaknya menjamin kerahasian data korban dan hak restitusinya serta perlindungan terhadap saksi. “Kami di tim koalisi anti kekerasaan akan mengawal kasus ini agar bisa adil bagi korban,” kata Yanti.
Ia mendorong aparat kepolisian menindak tegas pelaku dengan hukuman maksimal sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak dan UU TPKS. Selain itu, ia meminta Kantor Wilayah Kementerian Agama Nusa Tenggara Barat, untuk melakukan pengawasan terhadap semua pondok pesantren, terutama ponpes yang tidak memiliki izin. “Kami mendorong supaya di masing-masing ponpes memiliki SOP atau membuat aturan untuk membentuk satgas untuk posko pengaduan,” ujarnya. (RYJ)